Senin, 22 November 2010
Stasiun Bandung
Malam hari
Saat itu pukul 7 malam, saya mengantar ayah membeli tiket kereta untuk kembali ke Surabaya. Tiket sudah di tangan, kami pun kembali ke tempat parkir motor. Namun hujan melarang kami segera pulang. beristirahatlah kami di tempat duduk kotor di selasar tempat parkir.
Ada saya, ayah saya, dan seorang tua yang usianya kira-kira 60 tahun.
Hening tanpa kata berlangsung beberapa saat diantara kami, hanya saya dan ayah yang bertanya-tanya apakah hujan telah reda. Sesaat kemudian lewatlah seorang ibu dan (mungkin) suaminya. Sang Suami terlihat berjalan terpincang, kaki kirinya kaku, dan istrinya membantu beliau berjalan agar tidak jatuh.
"Stroke itu Mas", kata ayah saya.
"Oh..iya..", kata saya.
Lantas Bapak Tua yang sedari tadi di sebelah kami menimpali dan kami mulai berbincang tentang kesehatan dan tentang bapak tua lawan bicara kami yang 35 tahun tidak pernah makan daging ataupun merokok dan tidak pernah sakit hingga usia 60 tahun.
tiba-tiba saja ia berkata,
"Enak ya Bapak(ayah saya), punya keluarga", keluhnya.
"Bapak Bujang?", tanya ayah saya.
"Oh nggak sih Pak", Balasnya.
"Lalu?"
"Janganlah, nanti Bapak bisa geleng-geleng kalau tau cerita saya", tolaknya.
Namun singkat cerita, akhirnya Bapak Tua itu akhirnya menceritakan cerita hidupnya.
Kurang lebih begini cerita bapak itu:
Saya di-PHK Pak. Lalu saya ditinggal istri saya. Dia lari sama mantan pacarnya dulu. Surat rumah, surat tabungan saya dibawa semua. Ini saya dari rumah istri saya di Tasik, tapi mereka bilang istri saya tidak ada di sana. Uang saya habis gara-gara itu, benar Pak saya tidak bohong, tidak ada sepeser pun (sambil menunjukkan isi dompetnya yang kosong melompong). Padahal anak-anak masih pada kuliah, anak saya 3, yang satu sebentar lagi mau lulus. Ini aja saya jalan kaki dari Cicaheum.
Ayah saya bertanya,"Memang dulu bapak dinas di mana Pak?"
"Saya di swasta Pak, di Jakarta", jawabnya
"Swastanya di bidang apa Pak?di mana?"
"Di Pertambangan Pak, Di TOTAL. Saya Akuntan, Audit. Saya dulu kuliah di sini."
"Kuliah di mana Pak?"
"Di Pa*j*j*r*n..."
[dalam hati saya, "astaga, bahkan seorang lulusan universitas ternama, bekerja di perusahaan ternama yang seringkali diimpikan orang bisa terjerumus ke masalah seperti ini"]
"Lalu rencana Bapak apa setelah ini?", tanya ayah saya.
"Mau pulang ke Jakarta Pak, tapi ngga tau ini gimana, mau cari kerjaan tp gatau apa"
"kawan-kawan bapak ngga ada semua Pak di sini?"
"Wah ngga ada Pak, kawan saya di Jakarta semua, dan sudah pada lama ngga kontak lagi"
Ayah saya kembali bertanya,"Bapak ada nomor yang bisa saya hubungi?"
"Wah ngga ada Pak, Hape udah dijual buat makan"
"Nomer Rumah Pak?"
"Nggak ada juga Pak....."
....
......
Hujan Pun reda
saya dan ayah saya pun kembali meluncur pulang.
dan berpamitan ke Bapak Tua itu.
Di Jalan saya bertanya kepada Ayah saya,
"Papa nggak ngasih 'sangu' ke bapak itu???"
"Nggak Mas, kayak gitu itu bisa bener bisa nggak...Dan banyak kasus penipuan yang kayak gitu, jadi kalo mau nolong juga harus hati-hati juga, daripada salah sasaran."
oh..iya juga, saya jadi teringat kisah teman kos saya yang pernah menangkap penipuan serupa di masjid. Seorang bapak-bapak yang mengaku tidak punya ongkos pulang di rumahnya di luar kota, dompetnya hilang, ditinggal rombongannya dan akhirnya dibantu sedikit uang oleh teman saya.
Namun beberapa minggu kemudian dia didatangi oleh orang yang sama dengan alasan yang sama (penipunya lupa kali ya gara2 kebanyakan korban). Lalu teman saya bilang,"saya panggilkan DKM masjidnya aja pak, siapa tau masjid bisa bantu. Tetapi orang itu malah menolak dan pergi.
Yah...memang suatu ironi yang membingungkan. Di satu sisi kalaupun mereka memang kesusahan seperti cerita Bapak tua itu, ya kasihan juga. Namun kalau ternyata menipu, dan uang santunan kita disalahgunakan, kesel juga.
Jadi mungkin kita hanya bisa berdoa kalaupun memang beliau seorang saudara yang benar-benar kesulitan, semoga Tuhan memberikan kemudahan-kemudahan dan kesabaran dalam hidupnya, serta tawakkal dan semangat untuk terus hidup dan sukses. amiin...